Posted by LSM LITA on 18.06
Islam
meniupkan jiwa gotong royong dalam tubuh masyarakat, dan membangkitkan
semangat kebaikan pada setiap individu. Oleh karena itu, kita dapat
melihat sikap Islam yang menunjang segala betuk hubungan mu’amalat yang
bertujuan merealisasikan prinsip ini. Dan Islam mengharamkan segala
sesuatu yang dapat mengakibatkan putusnya ikatan hubungan keintiman
antara anggota-anggota masyarakat atau sesuatu yang bisa menyebabkan
permusuhan dan saling membenci.
Di antara hal-hal yang
termasuk dosa besar dan sangat dilarang oleh Islam ialah, menjalankan
riba atau rente. Islam dengan tegas dan keras melarang perbuatan
terkutuk ini, dan mengecam para pelakunya akan dijadikan penghuni neraka
selama-lamanya. Lebih jauh lagi, Islam menyamakan derajat pelakunya
sama dengan orang-orang kafir.
Allah telah berfirman :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS. 2 : 275 – 276).
Rasulullah menjadikan para pelaku riba dan saksi-saksinya, serta mereka
yang mencatat perjanjian itu, semuanya terlibat dalam dosa. Dan laknat
Allah mencakup mereka semua, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Abdullah ibnu Mas’ud.
لعن رسول الله اكل الربا وموكله وساهديه وكاتبه (رواه الترمذى وابو داود
“Rasulullah melaknati pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya dan pencatatnya (Hadits riwayat Turmudzi dan Abu Dawud)”.
Dan Rasulullah dengan tegas menetapkan bahwa menjalankan riba akan
mengakibatkan kerusakan baik di dunia maupun di akhirat nanti, dan
menjadikan dosa pelaku riba setaraf dengan dosa membunuh orang.
Untuk itu Rasulullah bersabda :
اجتنبوا السبع الموبقات, قالوا يا رسول الله وما هن؟ قال : الشرك بالله,
والسحر, وقتل النفس التى حرم الله الا بالحق, وأكل الربى, واكل مال اليتيم,
والتولى يوم الزحف وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات (رواه البخارى و مسلم
“Jauhilah olehmu tujuh perkara yang merusak”. Para sahabat bertanya :
“Wahai Rasulullah, apa saja tujuh perkara itu?” Rasulullah SAW, menjawab
: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan tidak ada alasan hak
hak, memakan hasil riba, memakan harta anak yatim, lari dari ajang
pertempuran melawan musuh agama dan menuduh berbuat zina wanita-wanita
mukmin yang terpelihara kehormatannya”( Hadits riwayat Bukhari dan
Muslim).
Tentu saja dosa riba dapat disejajarkan dengan dosa
pembunuhan, karena riba dapat menghancurkan dan meruntuhkan rumah
tangga. Riba juga akan menanamkan dengki dalam hati, dan lain-lain yang
akibatnya sama dengan perbuatan pembunuhan.
Islam
mengharamkan riba, karena riba akan menciptakan suasana hubungan antar
individu di dalam masyarakat berdasarkan pada hubungan materi yang tak
ada jiwa kegotong-royongan. Selain itu norma-norma perikemanusiaan akan
terinjak-injak karena sebagian orang akan hidup enak menjadi parasit
bagi golongan lainnya, menyadap keuntungan dari hasil keringat mereka
tanpa jerih payah. Begitu pula, riba merupakan rangsangan bagi
orang-orang yang memiliki modal, untuk tidak menggunakan hartanya
kecuali hanya dengan cara riba. Sebab jalan ini dianggap lebih banyak
meraih keuntungan, dan jauh dari kemungkinan rugi. Di kala perbuatan
riba sudah merajalela, maka macetlah segala proyek-proyek pembangunan
dan perindustrian yang manfaatnya dapat dirasakan oleh setiap orang.
Karena pada hakekatnya, uang bukan barang dagangan yang
diperjualbelikan, dan bukan obyek yang dijadikan sasaran dalam kontrak
jual beli. Uang adalah sarana untuk melakukan jual beli. Sedangkan
sistem riba menjadikan uang sebagai obyek yang diperjualbelikan,
sehingga memberikan support kepada pemilik modal untuk menimbun uangnya.
Dan sebagai dampaknya ialah, seluruh proyek yang bermanfaat bagi rakyat
akan terbengkalai, serta akan timbul pula keresahan dalam hati
masyarakat yang terkadang akan bisa mengakibatkan timbulnya revolusi.
Riba akan membuat pemilik modal bersikap pelit. Ia selalu berusaha
untuk meraih keuntungan yang lebih banyak dengan cara menyetop
beredarnya uang. Tentu saja hal ini akan membuat kaum pedagang dan
industriawan makin membutuhkan modal guna kelangsungan usahanya.
Sebaiknya situasi ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk menaikkan
bunga rentenya yang terkadang meningkat secara drastis. Sehingga
orang-orang yang meminjam modal akan menderita banyak kerugian, bahkan
terkadang bisa pula mengakibatkan perlakuan bunuh diri.
Dan
tanpa dirasakan oleh para konsumen yang terdiri dari rakyat biasa, para
pemilik modal mengambil bunga yang tidak langsung dan masuk ke dalam
kantongnya sendiri. Hal ini disebabkan karena pra pedagang atau para
industriawan sama sekali tidak mau membayar laba pinjamannya secara
langsung. Namun, pembayarannya mereka bebankan kepada hasil produksi
yang dibeli oleh para konsumen. Dengan cara meningkatkan harga
produksinya mereka dapat menutupi bunga dari modal pinjamannya. Dengan
demikian, beban kian bertambah bagi konsumen, dan yang menarik
keuntungan hanyalah pemilik modal.
Riba atau rente, dilihat
dari sistem ekonomi, adalah sistem yang dicela. Hal ini dilakukan pula
oleh sebagian ahli-ahli ekonomi negara-negara Barat. Seorang ahli
ekonomi Jerman bernama Dr. Sacht, bekas direktur Reich Bank telah
memberikan penjelasannya ketika berkunjung ke Damaskus pada tahun 1953:
“Dengan melalui perhitungan matematik yang mendetail, terbukti bahwa
uang yang beredar di seluruh dunia, pada akhirnya akan menjadi milik
segelintir para pemilik modal yang menjalankan sistem riba. Sebabnya
ialah karena pemilik modal selalu beruntung, sedangkan orang yang hutang
terkadang mengalami laba atau terkadang rugi. Oleh karena itu,
berdasarkan perhitungan matematik, uang akan kumpul di pihak yang
selamanya memperoleh keuntungan. Dan memang, pernyataan yang saya
kemukakan ini benar-benar sedang berjalan menuju sasarannya. Terbukti
sekarang, bahwa sebagian besar uang yang sekarang beredar di dunia
adalah milik pihak-pihak yang melakukan sistem riba atau yang menguasai
perbankan.
Melihat dampak negatif ini, maka Islam mengharamkan
riba. Dan masyarakat mana saja yang melakukan riba adalah masyarakat
yang terkutuk, dimusuhi oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat Allah.
Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an : “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman. Maka jika kamu
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya”. (QS. 2 : 278 – 279).
Barangkali, umat manusia di
sepanjang sejarah belum pernah mencapai puncak kemajuan dalam bidang
sain dan teknologi seperti apa yang dicapai pada masa sekarang ini.
Tetapi merupakan bukti yang nyata pula, bahwa umat manusia disepanjang
sejarah, belum pernah mengalami kegoncangan-kegoncangan dan kerusuhan
situasi seperti apa yang terjadi pada masa sekarang ini.
Bukankah semuanya itu merupakan bukti dari Allah yang telah dijanjikan
kepada hamba-hamba-Nya, yaitu peperangan dari Allah. Penyebab utamanya
tiada lain karena mereka telah keluar dari batas-batas yang telah
ditentukan oleh-Nya. Dan karena mereka menjadikan riba sebagai asas
hubungan mu’amalat. Maka celakalah apabila umat manusia mendapat ancaman
perang dari Allah.
Islam adalah suatu tatanan yang lengkap
lagi sempurna. Ketika Islam mengharamkan riba, maka Islam melandasi
ajarannya dengan prinsip-prinsip yang menjauhi riba. Sudah menjadi
kewajiban bagi negara Islam, memberi pinjaman kepada orang-orang yang
membutuhkan modal. Dan lebih jauh dari itu, harus pula menyiapkan
persediaan guna menutupi kebutuhan mereka yang mau meminjam secara tidak
berlebihan; atau orang-orang yang terdesak karena kebutuhan sehari-hari
kemudian tidak mampu mengembalikan hutangnya. Dalam keadaan seperti
ini, Islam telah menetapkan jalur tertentu guna menanggulangi kasus
semacam ini dengan melalui zakat.
Selain itu, Islam
menganjurkan kepada kaum muslimin, agar saling bahu-membahu dalam hal
kebajikan dan ketaqwaan. Sebagai pengejawantahan dari anjuran ini, kaum
muslim dituntut untuk mendirikan lembaga-lembaga bantuan atau bank-bank
non rente sehingga manfaatnya akan dapat dirasakan oleh segenap lapisan
masyarakat.
Apa yang terjadi sekarang di kalangan
negara-negara Islam, yang melalaikan ajaran-ajarannya, dan lebih senang
berhubungan dengan bank-bank yang memakai sistem rente, menimbulkan
banyak pertanyaan. Kalau keadaan sudah seperti ini, bagaimana dengan
sikap Islam? Salah seorang ulama Al-Azhar (Syekh ‘Ali Al-Khafif )
menjawab pertanyaan ini : “Adapun mengenai laba uang simpanan di bank,
Muktamar Pembahasan Masalah Islam ke dua telah memutuskan, bahwa uang
itu hukumnya haram dan tidak boleh diambil”. Kemudian salah seorang
bertanya kepada beliau: “Apakah seorang pemilik saham harus meninggalkan
begitu saja laba simpanannya di bank?”
Beliau lalu menjawab :
“Menurut pendapatku, apabila laba tersebut dibiarkan saja tidak
diambil, keadaan musuh-musuh Islam akan bertambah kuat dan bunga yang
tidak diambil akan dijadikan sarana untuk menekan kaum muslimin. Dalam
keadaan seperti ini, bunga itu boleh diambil. Tetapi bukan untuk
dimiliki sendiri, tetapi harus dibelanjakan kepada sesuatu yang
bermanfaat bagi kaum muslimin. Karena pada asalnya dimaksud untuk
memperkuat posisi umat Islam.”
0 komentar:
Posting Komentar